Jakarta, 25 Juni 2025 – Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia yang memberikan izin kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengirim sejumlah anak muda ke barak militer menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Kebijakan ini, yang dinilai sebagai langkah tegas dalam menangani masalah kenakalan remaja dan pembinaan karakter, juga memicu perdebatan mengenai etika dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Latar Belakang Kebijakan
Gubernur Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir, menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya angka kenakalan remaja, perundungan (bullying), geng motor, penyalahgunaan narkoba, serta kemerosotan moral di kalangan generasi muda. Sebagai bagian dari program “Pemuda Bangkit Jawa Barat”, ia mengusulkan pengiriman anak-anak usia remaja, terutama yang terlibat dalam pelanggaran ringan atau menunjukkan perilaku menyimpang, ke barak militer untuk mengikuti pelatihan kedisiplinan.
Program ini bertujuan bukan untuk menghukum, melainkan untuk membina. Barak militer yang akan digunakan bukanlah tempat tahanan, tetapi dirancang sebagai pusat pelatihan mental, fisik, dan nasionalisme.
Persetujuan dari Kementerian HAM
Setelah melalui proses koordinasi lintas kementerian, Menteri HAM memberikan izin bersyarat untuk pelaksanaan program tersebut. Dalam pernyataan resminya, Menteri HAM menyatakan:
“Kementerian HAM mendukung setiap inisiatif pemerintah daerah yang bertujuan membangun karakter dan moral pemuda, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Program ini bukan bentuk militerisasi anak, melainkan pembinaan dengan pendekatan disipliner yang terukur dan diawasi ketat oleh aparat sipil dan lembaga perlindungan anak.”
Isi Program dan Mekanisme Pelaksanaan
Program pelatihan ini rencananya akan berjalan selama 3 bulan per angkatan dan diikuti oleh remaja berusia 13–18 tahun yang dikirim secara sukarela oleh orang tua atau atas rekomendasi sekolah dan lembaga sosial. Berikut adalah rincian isi program:
- Pelatihan Fisik dan Disiplin Dasar: Kegiatan seperti baris-berbaris, pengenalan pola hidup sehat, dan latihan ketahanan mental.
- Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Materi tentang Pancasila, sejarah nasional, dan pentingnya toleransi antarwarga negara.
- Konseling Psikologis dan Spiritual: Didampingi oleh psikolog dan tokoh agama, peserta dibimbing untuk memahami diri dan memperbaiki perilaku.
- Pendidikan Keterampilan: Pelatihan keterampilan dasar seperti pertanian, teknologi informasi, dan wirausaha mikro.
Barak-barak yang digunakan merupakan fasilitas TNI yang dialihfungsikan sementara dan dilengkapi dengan sarana layak huni, pengawasan intensif, serta diawasi oleh tim terpadu dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia).
Reaksi Masyarakat dan Pakar HAM
Kebijakan ini memunculkan pro dan kontra:
Pendukung menyatakan bahwa program ini dapat menjadi solusi konkret dalam menangani anak-anak yang sulit dikontrol oleh keluarga maupun sekolah. Mereka menganggap pendekatan militer sebagai cara membentuk kedisiplinan yang selama ini hilang dalam pendidikan formal.
“Saya mendukung langkah Gubernur. Anak saya ikut dan sekarang jauh lebih disiplin, tidak main HP terus, dan mulai menghormati orang tua,” ujar seorang wali murid dari Kabupaten Garut.
Penentang dari kalangan aktivis HAM dan LSM anak menilai bahwa meskipun niatnya baik, penggunaan fasilitas militer untuk anak-anak bisa menimbulkan trauma jika tidak diawasi dengan benar. Mereka menuntut transparansi, mekanisme pengawasan independen, serta kepastian bahwa tidak akan ada kekerasan fisik maupun verbal selama pelatihan.
Komnas HAM pun turut memberi komentar:
“Kami menghargai tujuan pembinaan, namun pelibatan unsur militer perlu dikaji ulang dari perspektif HAM. Anak-anak adalah subjek yang harus dilindungi, bukan dibentuk dengan pendekatan keras.”
Baca Juga : Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2024
Regulasi dan Pengawasan
Untuk mengakomodasi kekhawatiran publik, Menteri HAM menetapkan beberapa syarat utama dalam pelaksanaan program ini:
- Partisipasi sukarela: Anak hanya boleh mengikuti pelatihan jika mendapat persetujuan tertulis dari orang tua/wali dan setelah penilaian psikologis.
- Pengawasan independen: Komnas HAM, LPAI, dan organisasi masyarakat sipil diberi akses penuh untuk memantau kegiatan.
- Larangan Kekerasan: Semua bentuk hukuman fisik dilarang. Pelatih yang terbukti melakukan kekerasan akan diberhentikan dan dikenai sanksi hukum.
- Evaluasi Berkala: Setiap batch pelatihan akan dievaluasi oleh tim multidisiplin untuk memastikan efektivitas dan dampaknya terhadap peserta.
Dampak Sosial dan Masa Depan Program
Sejak dimulai pada Mei 2025, gelombang pertama peserta yang berjumlah 300 remaja dari lima kota/kabupaten besar di Jawa Barat telah menyelesaikan pelatihan. Laporan awal menunjukkan bahwa sebagian besar peserta mengalami peningkatan kepercayaan diri, menurunnya kecanduan gadget, serta meningkatnya motivasi belajar.
Namun, ada juga beberapa catatan tentang peserta yang mengalami stres dan merasa tertekan dengan pola kehidupan yang sangat disiplin.
Gubernur Jawa Barat menyatakan akan terus mengevaluasi dan menyempurnakan program ini. Bahkan ada rencana replikasi program di provinsi lain, jika hasil jangka panjang terbukti efektif.
Penutup
Kebijakan Menteri HAM yang mengizinkan Gubernur Jawa Barat mengirim anak-anak ke barak militer adalah kebijakan unik yang berada di antara dua kutub: pembinaan karakter dan perlindungan hak asasi. Program ini mengundang perhatian publik karena menyentuh aspek sensitif dalam pendidikan anak dan reformasi sosial.
Keberhasilan atau kegagalan program ini akan menjadi tolok ukur bagi pendekatan baru dalam menangani krisis moral generasi muda Indonesia. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak anak harus menjadi pilar utama pelaksanaannya.