Perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia kembali menjadi sorotan menyusul wacana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Salah satu tokoh penting yang angkat bicara terkait isu ini adalah Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM yang dikenal vokal dalam memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak warga negara. Dalam berbagai pernyataan publiknya, Pigai menegaskan bahwa Revisi UU HAM merupakan langkah penting untuk memperkuat Komnas HAM sebagai lembaga independen dan strategis di Indonesia.
Latar Belakang Revisi UU HAM
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menjadi dasar hukum terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, setelah lebih dari dua dekade diterapkan, berbagai kalangan menilai bahwa UU ini sudah tidak relevan dengan dinamika dan tantangan HAM saat ini. Beberapa masalah yang sering muncul antara lain:
- Keterbatasan kewenangan Komnas HAM dalam menindaklanjuti pelanggaran HAM berat.
- Ketidakjelasan mekanisme pemanggilan paksa terhadap saksi dan pelaku.
- Minimnya jaminan perlindungan terhadap pengadu atau korban pelanggaran HAM.
- Keterbatasan dukungan anggaran dan kelembagaan.
Dari sinilah muncul urgensi revisi UU HAM untuk memastikan bahwa Komnas HAM bisa menjalankan mandatnya secara lebih kuat, profesional, dan efektif.
Pernyataan Natalius Pigai: Komnas HAM Harus Diperkuat, Bukan Dipangkas
Natalius Pigai dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa revisi UU HAM bukan hanya tentang memperbarui pasal, tetapi merupakan momentum untuk melakukan reformasi kelembagaan secara menyeluruh. Ia menyatakan bahwa:
“Komnas HAM saat ini bekerja dalam kerangka hukum yang sudah sangat lama. Banyak pasal yang multitafsir dan tidak lagi mampu menjawab situasi pelanggaran HAM modern. Revisi undang-undang ini bukan sekadar penting, tapi urgen.”
Lebih lanjut, Pigai menyoroti pentingnya memperluas dan mempertegas kewenangan Komnas HAM dalam beberapa aspek berikut:
1. Kewenangan Penyidikan Diperluas
Pigai menekankan bahwa Komnas HAM harus diberi kewenangan penyidikan yang setara dengan aparat penegak hukum lainnya, termasuk hak untuk memanggil paksa, menyita dokumen, dan mengakses informasi dari lembaga negara lainnya.
“Komnas HAM hanya bisa menyampaikan rekomendasi. Tapi bagaimana bisa ada keadilan jika rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum? Inilah yang perlu diubah.”
2. Perlindungan terhadap Korban dan Pelapor
Dalam revisi UU, menurut Pigai, perlu ada ketentuan tegas yang menjamin perlindungan hukum dan fisik bagi pelapor pelanggaran HAM maupun korban, agar mereka tidak mendapat intimidasi atau tekanan balik dari pelaku.
3. Penguatan Peran Komnas HAM dalam Penanganan Pelanggaran HAM Berat
Selama ini, Komnas HAM hanya bisa menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung. Namun, proses penuntutan kerap tidak berjalan. Pigai mendesak agar mekanisme penyelesaian HAM berat diperkuat dalam revisi UU, termasuk kemungkinan pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang lebih mudah diaktifkan.
Tantangan yang Dihadapi Komnas HAM Saat Ini
Untuk menggambarkan urgensi revisi tersebut, Pigai juga mengungkap berbagai tantangan struktural yang menghambat kerja Komnas HAM:
- Tidak adanya kekuatan eksekusi terhadap pelaku pelanggaran HAM.
- Ketergantungan pada lembaga lain dalam menindaklanjuti kasus (misalnya Kejaksaan, Kepolisian).
- Politik kekuasaan yang kerap membungkam suara kritis dari Komnas HAM.
- Kurangnya dukungan anggaran dan sumber daya manusia untuk menjalankan mandat secara optimal.
Menurut Pigai, semua tantangan ini menunjukkan bahwa tanpa revisi mendasar, Komnas HAM akan terus berjalan pincang dan hanya menjadi “macan kertas” dalam sistem hukum Indonesia.
Isi Pokok Usulan Revisi UU HAM yang Diusulkan oleh Aktivis HAM
Beberapa poin penting yang diusulkan dalam revisi UU HAM antara lain:
- Penguatan status kelembagaan Komnas HAM menjadi setara dengan lembaga negara lainnya.
- Penegasan hak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dengan instrumen hukum yang kuat.
- Pengaturan kewenangan dalam menangani konflik agraria, pelanggaran HAM lingkungan, dan pelanggaran HAM digital.
- Sistem integrasi data pelanggaran HAM dengan lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.
- Mekanisme pemilihan komisioner Komnas HAM yang lebih transparan dan partisipatif.
Baca Juga : Mengenal Hak Pengelolaan Objek, Waktu Hingga Ketentuan
Respon Publik dan Dukungan Masyarakat Sipil
Banyak kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi HAM mendukung wacana revisi ini. Mereka percaya bahwa penguatan hukum akan membuat Komnas HAM menjadi lembaga yang:
- Lebih berani dalam mengungkap pelanggaran.
- Lebih dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat pengaduan.
- Mampu menjadi penjaga demokrasi dan hak asasi manusia yang efektif.
Kesimpulan: Momentum Perubahan Jangan Dilewatkan
Natalius Pigai memberikan suara yang kuat terhadap reformasi kelembagaan Komnas HAM melalui revisi UU HAM. Menurutnya, ini adalah waktu yang tepat untuk memperbarui undang-undang lama yang tidak lagi relevan dengan realitas penegakan HAM saat ini. Ia juga mengingatkan bahwa penguatan Komnas HAM bukan hanya untuk lembaga itu sendiri, melainkan untuk kepentingan rakyat dalam mencari keadilan, perlindungan, dan pengakuan atas hak-haknya.
Jika pemerintah dan DPR serius dalam agenda reformasi hukum, maka revisi UU HAM seharusnya menjadi prioritas nasional, bukan sekadar masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa tindak lanjut nyata.
“Komnas HAM adalah benteng terakhir rakyat untuk mendapatkan perlindungan hak asasi. Maka benteng itu harus diperkuat, bukan dilemahkan,” pungkas Pigai.