Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan landasan hukum utama yang mengatur kedudukan, tugas, fungsi, struktur, dan peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi segenap bangsa Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan situasi politik, ancaman keamanan nasional yang semakin kompleks, dan dinamika global, revisi terhadap UU TNI ini menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Pemerintah dan DPR RI pun tengah membahas Rancangan Undang-Undang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004, yang memunculkan banyak respons dari berbagai kalangan β baik dukungan maupun kritik.
Artikel ini akan mengulas secara menyeluruh:
- Latar belakang perubahan
- Pokok-pokok perubahan yang diajukan
- Implikasi terhadap sistem pertahanan negara
- Kontroversi dan kritik dari masyarakat sipil
- Saran dan prospek ke depan
π‘οΈ Latar Belakang Perubahan UU TNI
Sejak disahkannya pada tahun 2004, UU No. 34 telah menjadi dasar penting dalam proses reformasi sektor pertahanan, terutama dalam membatasi peran TNI hanya dalam urusan pertahanan dan memisahkan fungsi kepolisian untuk menjaga ketertiban sipil.
Namun, berbagai tantangan muncul:
- Meningkatnya ancaman non-tradisional seperti terorisme, separatisme, serangan siber, dan bencana alam
- Dinamika geopolitik dan pengaruh kekuatan asing di kawasan Indo-Pasifik
- Isu peran TNI dalam mendukung pembangunan nasional, termasuk proyek strategis pemerintah
- Kebutuhan akan keterlibatan TNI dalam kondisi damai melalui “tugas perbantuan”
Oleh karena itu, revisi UU TNI dianggap perlu untuk mengakomodasi peran baru TNI, tanpa mengorbankan semangat reformasi dan supremasi sipil atas militer.
π Pokok-Pokok Perubahan dalam RUU TNI
Berikut adalah beberapa poin penting dalam draf perubahan UU No. 34 Tahun 2004:
1. Penambahan Fungsi dan Tugas TNI
Pasal-pasal baru mengatur bahwa TNI:
- Dapat melakukan penanganan terorisme secara langsung
- Dapat terlibat dalam pengamanan objek vital nasional dan proyek strategis
- Dapat menjalankan fungsi diplomasi militer secara aktif
- Dapat melakukan tugas-tugas non-militer dalam situasi tertentu atas perintah Presiden
2. TNI Aktif di Jabatan Sipil
Perubahan ini membuka peluang perwira aktif TNI menempati jabatan di kementerian/lembaga tanpa harus pensiun dini β sebuah hal yang sebelumnya dilarang untuk menjamin netralitas TNI dalam politik.
Namun, jabatan sipil yang dimaksud terbatas pada posisi tertentu, seperti:
- Kepala BNPB
- Kepala BIN
- Menteri bidang pertahanan/kedaruratan
- Lembaga non-struktural yang bersifat strategis
3. Modernisasi Pertahanan dan Alih Teknologi
UU hasil revisi ini juga memuat dorongan terhadap penguatan industri pertahanan nasional dan kerja sama pertahanan luar negeri dengan tetap menjunjung tinggi kemandirian alutsista (alat utama sistem senjata).
4. Anggaran dan Pembiayaan
RUU menegaskan bahwa pembiayaan TNI tidak hanya berasal dari APBN, namun dimungkinkan adanya kerja sama pembiayaan untuk kegiatan non-tempur, seperti pengamanan proyek strategis nasional.
βοΈ Implikasi Terhadap Tata Kelola Pertahanan Negara
β Positif:
- Memperkuat posisi TNI dalam menghadapi ancaman hybrid (gabungan ancaman konvensional dan non-konvensional)
- Memberi fleksibilitas peran TNI dalam pembangunan nasional dan penanganan krisis
- Mendorong efisiensi dan sinergi lintas lembaga dalam bidang keamanan nasional
β οΈ Negatif (Potensi Risiko):
- Menimbulkan kekhawatiran kembalinya dwifungsi TNI seperti era Orde Baru
- Dapat melemahkan prinsip supremasi sipil jika pengawasan parlemen dan publik tidak diperkuat
- Berpotensi tumpang tindih dengan tugas Polri dan lembaga lain seperti Basarnas, BIN, atau Kemenhan
π£ Kontroversi dan Kritik Masyarakat Sipil
Sejumlah LSM, akademisi, dan pengamat militer menyoroti beberapa poin krusial:
1. Netralitas Militer
Kembalinya perwira TNI ke jabatan sipil dinilai sebagai kemunduran dari semangat reformasi 1998 yang telah memisahkan secara tegas peran militer dan sipil.
2. Minimnya Pengawasan Publik
Rancangan perubahan belum menjelaskan mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam:
- Kegiatan TNI di luar urusan pertahanan
- Pengelolaan anggaran tambahan non-APBN
3. Konflik Kewenangan
Keterlibatan TNI dalam pengamanan objek vital dan penanggulangan terorisme bisa menimbulkan konflik peran dengan Polri, yang secara hukum menjadi penanggung jawab keamanan dalam negeri.
Baca Juga :Β Wujudkan Kemandirian Ekonomi Daerah, Kemendagri Dorong Penguatan Pembinaan dan Pengawasan BUMD
π§ Saran dan Rekomendasi untuk RUU TNI
Agar perubahan terhadap UU No. 34 Tahun 2004 tetap berada dalam koridor demokrasi dan profesionalisme militer, beberapa saran penting perlu dipertimbangkan:
- Perluasan Peran TNI Harus Diiringi Mekanisme Pengawasan
- Pembentukan lembaga pengawas independen
- Keterlibatan DPR dan Komnas HAM dalam pengawasan kegiatan non-tempur
- Transparansi Anggaran
- Segala bentuk pembiayaan luar APBN harus dilaporkan secara terbuka kepada publik
- Audit berkala dari BPK terhadap penggunaan dana proyek strategis
- Evaluasi dan Batasan Tugas Non-Militer
- TNI hanya boleh terlibat dalam urusan sipil jika kondisi darurat atau atas perintah tertulis dari Presiden melalui UU
- Penataan Posisi TNI Aktif di Jabatan Sipil
- Harus tetap dalam batas jabatan yang relevan dengan tugas pertahanan dan keamanan
- Pengisian jabatan sipil oleh TNI harus bersifat sementara dan selektif
π Kesimpulan
Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah bagian dari respons terhadap dinamika ancaman dan tuntutan zaman. Namun, perubahan tersebut harus tetap berakar pada prinsip reformasi TNI, yakni profesional, netral, dan tunduk pada otoritas sipil yang demokratis.
Arah revisi harus mengedepankan keseimbangan antara kekuatan pertahanan dan kontrol demokratis, bukan justru membuka ruang bagi penguatan militerisme dalam ranah sipil.
π‘οΈ βMiliter yang kuat adalah militer yang profesional, bukan yang terlibat dalam semua urusan negara.β