Konflik bersenjata Peperangan antara negara, terutama yang melibatkan kekuatan militer besar seperti Israel dan Iran, seringkali menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketika dentuman senjata menggema dan ledakan mengguncang pemukiman sipil, dunia bertanya-tanya: apakah prinsip-prinsip dasar tentang hak hidup, perlindungan sipil, dan keadilan masih relevan atau justru menjadi korban pertama dari perang?
Konflik Israel-Iran bukan sekadar perang fisik, tetapi juga pertarungan politik, ideologis, dan keagamaan yang berlarut-larut selama dekade. Namun satu hal yang konsisten dari konflik ini adalah penderitaan rakyat sipil yang tak berdosa, yang seharusnya menjadi subjek utama perlindungan HAM.
Artikel ini akan membedah secara mendalam:
- Apa itu HAM dan bagaimana penerapannya dalam konflik bersenjata
- Akar konflik Israel-Iran dan kondisi terkini
- Bagaimana pelanggaran HAM terjadi di medan perang
- Peran lembaga internasional dalam mengawasi pelaksanaan HAM
- Apakah HAM masih relevan atau hanya menjadi jargon dalam konteks perang
1. Apa Itu HAM dan Fungsinya Dalam Konflik Bersenjata
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir tanpa memandang ras, agama, kewarganegaraan, atau status politik. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 oleh PBB menegaskan prinsip-prinsip ini, termasuk:
- Hak untuk hidup
- Hak atas kebebasan dan keamanan
- Hak atas perlindungan hukum
- Hak untuk tidak disiksa
- Hak atas pendidikan dan kehidupan bermartabat
Dalam konteks perang, HAM tetap berlaku. Bahkan dalam konflik bersenjata, ada prinsip-prinsip hukum internasional seperti Hukum Humaniter Internasional (termasuk Konvensi Jenewa) yang memberikan pedoman ketat:
- Larangan menyerang warga sipil
- Larangan penggunaan senjata kimia dan senjata pemusnah massal
- Kewajiban memperlakukan tawanan perang secara manusiawi
- Perlindungan terhadap rumah sakit, fasilitas pendidikan, dan tempat ibadah
Namun, kenyataannya jauh dari harapan.
2. Akar Konflik Israel dan Iran: Politik, Sejarah, dan Ideologi
Konflik antara Israel dan Iran tidak bisa dipisahkan dari:
🧭 Faktor Politik
- Iran secara resmi menolak eksistensi Israel dan mendukung kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas.
- Israel menilai program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial.
🛡️ Faktor Militer
- Kedua negara secara rutin melakukan operasi rahasia dan terbuka satu sama lain.
- Iran dituduh mendukung serangan roket ke wilayah sipil Israel, sementara Israel melakukan serangan udara terhadap fasilitas militer dan ilmuwan Iran.
🕋 Faktor Agama dan Ideologi
- Iran adalah Republik Islam Syiah yang mendukung perjuangan Palestina dan perlawanan terhadap “imperialisme”.
- Israel sebagai negara Yahudi merasa dikelilingi oleh musuh dan mengutamakan keamanan nasional di atas segalanya.
3. Pelanggaran HAM dalam Konflik Israel-Iran: Potret Nyata
Dalam berbagai insiden, pelanggaran HAM terjadi di kedua sisi, terutama terhadap rakyat sipil:
📍 Kekerasan Terhadap Warga Sipil
- Serangan roket dan rudal yang tidak membedakan target antara militer dan sipil.
- Pengeboman kawasan padat penduduk dan pemukiman.
- Penggunaan anak-anak dalam konflik sebagai pelindung manusia (human shield).
🛑 Penyiksaan dan Penahanan Tanpa Proses Hukum
- Penahanan terhadap aktivis, jurnalis, dan warga sipil yang dianggap simpatisan lawan.
- Pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat, terutama di Iran.
🏥 Blokade Bantuan Kemanusiaan
- Rumah sakit kekurangan pasokan karena jalur distribusi diblokir.
- Bantuan internasional tidak bisa masuk karena alasan keamanan.
4. Peran Lembaga Internasional: Kuat di Aturan, Lemah di Tindakan?
Lembaga internasional seperti PBB, Dewan HAM PBB, Amnesty International, dan Human Rights Watch aktif mengecam pelanggaran HAM di berbagai konflik, termasuk Peperangan Israel-Iran. Namun, tantangan yang mereka hadapi meliputi:
- Keterbatasan kewenangan eksekusi: PBB hanya bisa memberikan resolusi tanpa kekuatan mengikat.
- Politik internasional: Veto negara besar (AS, Rusia, China) sering menghambat tindakan terhadap pelanggaran.
- Akses terbatas ke medan konflik: Jurnalis dan pengamat HAM sulit masuk ke wilayah perang.
Meski begitu, laporan dan dokumentasi dari lembaga-lembaga ini tetap menjadi catatan penting untuk proses akuntabilitas di masa depan, terutama untuk pengadilan internasional.
Baca Juga : Menteri HAM Ijinkan Gubernur Jawa Barat Kirim Anak Ke Barak Militer
5. Apakah HAM Masih Berlaku Dalam Perang?
Secara prinsip, HAM tetap berlaku kapan pun dan di mana pun, termasuk dalam situasi perang. Namun, dalam praktiknya, HAM seringkali menjadi korban pertama. Saat konflik bersenjata pecah:
- Negara mengedepankan alasan “keamanan nasional” dan “kedaulatan” untuk membatasi hak-hak warga
- Hukum humaniter dilanggar karena kepentingan taktis
- Akuntabilitas sulit ditegakkan karena kekuasaan yang tidak seimbang
Namun, tidak berarti HAM menjadi tidak relevan. Justru, di tengah perang dan kekacauan, keberadaan HAM menjadi tolok ukur moral dan hukum yang sangat penting. Tanpa HAM, tidak ada batasan antara perlindungan dan kebrutalan.
6. Apa yang Bisa Dilakukan Dunia Internasional?
- Tekanan Diplomatik: Negara-negara non-blok dan organisasi internasional harus aktif menyerukan gencatan senjata dan penyelidikan pelanggaran HAM.
- Sanksi Internasional Terarah: Bukan kepada rakyat, tapi kepada individu atau entitas yang terbukti melanggar HAM.
- Penyediaan Koridor Kemanusiaan: Untuk memastikan bantuan dapat masuk ke wilayah terdampak perang.
- Dukungan terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC): Agar pelanggar HAM bisa diadili.
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia bukanlah pilihan, tapi kewajiban universal. Bahkan di tengah konflik Peperangan paling brutal antara Israel dan Iran, prinsip-prinsip HAM tetap menjadi fondasi peradaban yang tak boleh dikesampingkan. Memang sulit untuk menerapkannya di medan perang, tapi semakin besar tantangan, semakin penting untuk menegakkan nilai-nilai tersebut.
Perang akan selalu menimbulkan penderitaan, tapi dunia tidak boleh membiarkan penderitaan itu menjadi norma. Perlindungan terhadap warga sipil, akuntabilitas atas pelanggaran, dan solidaritas internasional harus terus digaungkan, agar kemanusiaan tidak tenggelam dalam bara api peperangan.